Oleh: Nurjanah

🧑‍💼 Identitas Penulis

Dr. Nurjanah
Dosen Fakultas Kesehatan Universitas Dian Nuswantoro
Scopus ID: 58133307800
Sinta ID: 5989333
Haikal, S.KM., M.KM (Editor)
Dosen Fakultas Kesehatan Universitas Dian Nuswantoro
Scopus ID: 57330903300
Sinta ID: 6731731

Melek Gerak, Melek Jiwa: Mengapa Tubuh Aktif Bisa Menyelamatkan Pikiran Kita

Bayangkan tubuh kita seperti sepeda motor. Kalau jarang dipakai, lama-lama mesinnya macet, bannya kempes, dan susah dinyalakan. Tubuh manusia juga begitu. Kalau jarang digerakkan, bukan cuma otot yang lemas, tapi pikiran pun bisa ikut kacau.

Penelitian dari Universitas Dian Nuswantoro (Udinus) Semarang bersama peneliti internasional menemukan bahwa literasi fisik—atau kemampuan dan kemauan untuk aktif bergerak—ternyata punya hubungan erat dengan kesehatan mental. Ini bukan sekadar teori, tapi gambaran nyata kehidupan kita sehari-hari: sibuk, cepat, tapi makin sedikit bergerak.

Apa sih literasi fisik itu? Sederhananya, literasi fisik adalah melek gerak. Artinya, kita tahu cara bergerak, mau bergerak, dan merasa mampu melakukannya. Bukan cuma sadar bahwa olahraga itu penting, tapi juga punya keterampilan dan percaya diri untuk aktif sepanjang hidup. Contohnya bisa dilihat dari anak yang lincah main bola, remaja yang semangat bersepeda, atau pekerja yang rutin jogging sebelum berangkat kerja.

Sayangnya, kalau literasi fisik rendah, kita cenderung malas gerak. Padahal gaya hidup kurang gerak (sedentary lifestyle) sudah terbukti bikin tubuh gampang sakit dan pikiran mudah stres, cemas, bahkan depresi.

Masalah ini cukup serius. Data Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan lebih dari 19 juta orang Indonesia di atas usia 15 tahun mengalami gangguan mental emosional, dan 12 juta di antaranya menderita depresi. Di Semarang saja, dalam setahun (2020), ada lebih dari 63 ribu kunjungan ke layanan kesehatan karena masalah mental—setara dengan penduduk satu kecamatan penuh!

Di saat yang sama, tren malas gerak justru meningkat. Tahun 2013, 2 dari 10 orang malas bergerak. Tahun 2023, angkanya naik jadi hampir 4 dari 10 orang. Artinya, makin banyak orang Indonesia duduk berjam-jam di depan layar laptop, ponsel, atau TV, dibandingkan bergerak.

Penelitian Udinus melibatkan 610 orang dewasa di Kota Semarang. Mereka diukur dengan dua alat: Perceived Physical Literacy Questionnaire (PPLQ) untuk literasi fisik, dan Self-Reporting Questionnaire (SRQ-20) dari WHO untuk kesehatan mental. Hasilnya jelas: orang dengan literasi fisik tinggi cenderung punya kesehatan mental yang lebih baik.

Gejala mental yang paling banyak dirasakan responden antara lain sakit kepala (40%), sulit tidur (38%), cepat lelah (33%), dan cemas (29%). Yang mengkhawatirkan, 5,5% responden pernah berpikir untuk mengakhiri hidup—sinyal serius bahwa kesehatan mental butuh perhatian.

Kenapa gerak bisa menyehatkan pikiran? Saat kita bergerak, tubuh melepaskan hormon endorfin—hormon bahagia yang membantu mengurangi stres, rasa sakit, dan membuat suasana hati lebih baik. Orang yang aktif juga biasanya lebih percaya diri, punya citra tubuh positif, dan merasa mampu menghadapi tantangan sehari-hari. Selain itu, aktivitas fisik sering dilakukan bersama orang lain—main futsal, ikut kelas yoga, atau sekadar jalan pagi dengan tetangga. Interaksi sosial ini memberi dukungan emosional dan mengurangi rasa kesepian.

Namun, kehidupan modern punya tantangan tersendiri. Kota makin padat, ruang hijau dan jalur sepeda minim. Pekerjaan menuntut duduk berjam-jam. Teknologi memudahkan semua urusan tanpa harus keluar rumah—belanja, pesan makan, bahkan bekerja. Pengetahuan tentang durasi aktivitas fisik yang ideal pun masih kurang. Akibatnya, budaya “mager” makin kuat.

Tapi jangan khawatir, kita bisa mulai dari langkah kecil. Tidak perlu ikut marathon 42 km. Cukup jalan kaki 10 menit setiap hari, pilih tangga daripada lift, senam ringan di rumah, atau ajak anak main ke luar. Kuncinya bukan intensitas, tapi konsistensi. Lebih baik bergerak sedikit tapi rutin, daripada semangat seminggu lalu berhenti total.

Libatkan keluarga dan teman agar lebih seru. Gunakan teknologi secara bijak—misalnya aplikasi kesehatan untuk mengingatkan kita agar bergerak, bukan sekadar scrolling media sosial.

Pesan penting dari penelitian ini: kesehatan fisik dan mental tidak bisa dipisahkan. Kalau ingin generasi muda Indonesia tumbuh sehat jiwa raga, budaya aktif bergerak harus ditanamkan sejak dini. Sekolah bisa memasukkan literasi fisik dalam kurikulum, pemerintah menyediakan ruang publik yang ramah gerak, dan media mengkampanyekan pentingnya bergerak untuk kesehatan mental.

Namun, yang paling penting adalah kesadaran dari kita sendiri: tubuh yang aktif adalah kunci pikiran yang stabil. Kesehatan mental tidak selalu butuh obat atau terapi berhari-hari. Kadang jawabannya sederhana: ayo bergerak.