Oleh: Widya Ratna Wulan
🧑‍💼 Identitas Penulis
|
Widya Ratna Wulan, S.KM., M.KM Dosen Fakultas Kesehatan Universitas Dian Nuswantoro Scopus ID: 6748262 Sinta ID: 57221739739 |
|
Kismi Mubarokah, S.KM., M.Kes (Editor) Dosen Fakultas Kesehatan Universitas Dian Nuswantoro Sinta ID: 6144413 |
Tren Rokok Elektrik di Kalangan Remaja: Gaya Hidup Modern atau Bahaya Terselubung?
Â
Â
Fenomena penggunaan rokok elektrik atau vape kian marak di kalangan remaja Indonesia. Dengan tampilan modern, beragam rasa buah, serta klaim sebagai alternatif yang lebih aman daripada rokok konvensional, vape semakin populer, khususnya di kalangan muda. Namun, benarkah vape lebih aman?
Â
Data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) tahun 2023 mengungkapkan bahwa 7,4% anak-anak dan remaja (usia 10–18 tahun) merupakan perokok aktif. Kelompok usia 15–19 tahun merupakan pengguna terbanyak, disusul oleh kelompok usia 10–14 tahun. Penggunaan rokok elektrik juga meningkat drastis: dari hanya 0,3% pada tahun 2011 menjadi 3% di tahun 2021—naik sepuluh kali lipat dalam satu dekade terakhir.
Â
Uap Vape: Tidak Berasap Bukan Berarti Aman
Â
Banyak yang beranggapan bahwa karena vape tidak menghasilkan asap, maka lebih aman. Padahal, vape mengandung berbagai zat kimia berbahaya. Cairan vape (e-liquid) mengandung bahan seperti vanilin dan cinnamaldehyde, yang meskipun lazim digunakan sebagai perasa makanan, dapat merusak DNA sel tubuh ketika dihirup, terutama di paru-paru. Kerusakan ini meningkatkan risiko kanker paru, mulut, dan tenggorokan.
Tidak hanya itu, vape juga mengandung propilen glikol, gliserol, logam berat, dan zat tambahan lain yang berpotensi karsinogenik. Pemanasan cairan vape menghasilkan senyawa beracun seperti formaldehida dan asetaldehida. Kandungan nikotin dalam vape bahkan tidak terstandarisasi, dan dapat lebih tinggi dibandingkan rokok biasa, meningkatkan potensi kecanduan.
Â
Yang lebih mengkhawatirkan, Badan Narkotika Nasional (BNN) mencatat bahwa antara tahun 2015–2019, beberapa produk cairan vape mengandung zat narkotika seperti cannabinoid sintetis, katinon sintetis, hingga MDMA (ekstasi). Studi internasional mencatat 39,5% pengguna vape pernah menggunakannya untuk menghisap narkoba seperti ganja, kokain, atau heroin.
Â
Vape: Ancaman Tak Terlihat bagi Perokok Pasif
Â
Meskipun tidak mengeluarkan asap pekat, uap vape tetap mengandung zat berbahaya seperti nikotin, senyawa organik volatil (volatile organic compounds), karbonil, dan partikel mikro (PM2.5). Paparan partikel ini—meskipun dalam jumlah kecil—tetap dapat memicu kanker, baik bagi pengguna aktif maupun orang di sekitarnya (perokok pasif). Tidak ada ambang batas aman bagi paparan zat-zat tersebut.
Â
Remaja sebagai Sasaran Pasar: Strategi yang Halus tapi Mengena
Â
Penelitian Widya Ratna Wulan dkk. (2020) yang dilakukan di lima kota besar Indonesia (Jakarta, Surabaya, Semarang, Yogyakarta, dan Bandung) dengan 1.000 responden menunjukkan bahwa kelompok usia 15–25 tahun merupakan pengguna vape terbesar. Mayoritas dari mereka adalah pelajar dan mahasiswa, dengan penghasilan di bawah Rp1 juta per bulan. Hal ini menunjukkan bahwa harga vape yang relatif murah, terutama cairan buatan lokal, membuatnya mudah diakses oleh kalangan remaja.
Â
Tak hanya laki-laki, penggunaan vape di kalangan remaja perempuan juga meningkat. Dari 1.239 responden, 49% adalah perempuan, dan 57% berusia 15–24 tahun. Sebanyak 4,3% remaja perempuan bahkan menjadi pengguna aktif vape. Melalui diskusi kelompok terarah (FGD), diketahui bahwa alasan utama remaja perempuan memilih vape adalah karena dianggap lebih bersih, tidak meninggalkan bau, memiliki aroma menyenangkan, serta memungkinkan mereka melakukan trik dengan asap.
Â
Peran Media Sosial dalam Mempopulerkan Vape
Â
Media sosial berperan besar dalam membentuk persepsi positif terhadap vape. Sebanyak 84% responden menyatakan pernah melihat iklan vape. Penelitian mencatat bahwa remaja menghabiskan lebih dari 5 jam per hari di media sosial. Platform seperti Instagram (87,4%), YouTube (76,6%), dan Facebook (66%) menjadi sarana promosi utama produk vape.
Konten yang beredar—seperti ulasan produk, trik asap (vape trick), dan promosi dari influencer—membuat vape terlihat keren dan normal. Sebanyak 34,4% remaja menganggap vape sebagai tren kekinian, dan 33,4% menyebutnya sebagai produk “lebih berkelas”.
Â
Â
Pentingnya Literasi Digital dan Tindakan Regulatif
Â
Dengan tingginya eksposur terhadap promosi produk vape, literasi media menjadi hal yang mendesak. Remaja perlu dibekali kemampuan membedakan konten biasa dengan iklan terselubung. Misalnya, konten influencer yang menampilkan trik vape secara menarik padahal merupakan bentuk promosi tidak langsung. WHO bahkan menyarankan larangan total terhadap iklan produk tembakau, pembatasan usia pembeli minimal 21 tahun, serta pelarangan penggunaan perasa yang menarik perhatian remaja.
Â
Meskipun Indonesia telah memiliki peraturan pembatasan iklan rokok—seperti hanya boleh tayang setelah pukul 22.00 dan wajib mencantumkan peringatan kesehatan—implementasinya belum maksimal. Penelitian menemukan 114 kanal media sosial melanggar UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, namun penegakan hukumnya masih minim. Pembelian vape oleh remaja pun sangat mudah, baik secara daring maupun luring. Sebanyak 71,3% remaja membeli rokok batangan dan 60,6% di antaranya tidak pernah mendapat larangan.
Â
Jangan Tertipu oleh Uap yang Wangi
Â
Rokok elektrik bukan solusi sehat dari rokok konvensional. Uap manis yang dihasilkan vape menyimpan bahaya besar yang tidak kasat mata, namun sangat nyata. Ancaman terhadap kesehatan fisik, mental, bahkan keterlibatan dalam penyalahgunaan zat berbahaya menjadi risiko serius yang harus diwaspadai.
Â
Sudah saatnya masyarakat, pemerintah, dan lembaga pendidikan bersama-sama meningkatkan kesadaran dan memperketat pengawasan terhadap produk ini. Generasi muda harus diselamatkan dari jerat asap yang tampak ringan, namun bisa menghancurkan masa depan.

Recent Comments