Oleh: Aprianti

🧑‍💼 Identitas Penulis

Foto Aprianti Aprianti, S.KM., M.Kes
Dosen Fakultas Kesehatan Universitas Dian Nuswantoro
Sinta ID: 6742392
Foto Kismi Mubarokah Kismi Mubarokah, S.KM., M.Kes (Editor)
Dosen Fakultas Kesehatan Universitas Dian Nuswantoro
Sinta ID: 6144413

Mengapa Iklan Rokok Masih Menggoda, Terutama Bagi Remaja?

 

Setiap 31 Mei, dunia memperingati Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS) untuk mengingatkan kembali bahaya produk tembakau terhadap kesehatan. Tema HTTS 2025, “Unmasking the Appeal” atau “Membongkar Daya Tarik Tersembunyi”, menyoroti bagaimana industri tembakau secara cerdas menyisipkan taktik promosi yang memikat—terutama untuk menarik perhatian anak muda.

 

Melalui desain kemasan yang menarik, warna mencolok, dan perasa manis, rokok kerap disamarkan menyerupai permen atau produk konsumsi anak-anak. Bahkan, beberapa produk menampilkan tokoh kartun dan desain lucu yang secara visual memang ditujukan untuk generasi muda.

 

Zat tambahan seperti rasa buah atau sensasi “dingin” membuat pengalaman pertama merokok menjadi lebih mudah diterima oleh remaja. Hasilnya? Mereka lebih berisiko menjadi pengguna rutin dan sulit untuk berhenti.

 

Kemasan Menarik, Pelanggan Setia: Strategi Licik yang Efektif

 

Kemasan rokok bukan sekadar pembungkus. Ia adalah alat promosi yang menyasar psikologis remaja. Semakin menarik kemasannya, semakin besar peluang remaja mencoba, hingga akhirnya menjadi konsumen jangka panjang. Strategi ini jelas menciptakan potensi kecanduan dan paparan zat berbahaya dalam jangka waktu lama.

 

Ditambah lagi, iklan rokok sering digambarkan dengan gaya hidup yang seru, menyenangkan, dan trendi—membangun citra bahwa produk tembakau adalah sesuatu yang aman dan pantas untuk dicoba. Sayangnya, pelarangan iklan rokok belum diterapkan secara menyeluruh. Masih banyak papan reklame dan spanduk rokok menghiasi jalan-jalan kota, bahkan di sekitar sekolah.

 

Fakta Lapangan: Sekolah Dikepung Iklan Rokok

 

Penelitian oleh Nurjanah (2018) tentang pemetaan iklan rokok di Kota Semarang menemukan bahwa 74% dari 3.453 iklan luar ruang berada dalam radius 300 meter dari sekolah. Artinya, hampir 4 dari 10 sekolah (39%) berada di kawasan dengan kepadatan iklan rokok yang tinggi.

 

Temuan ini diperkuat oleh studi Sri Handayani, yang menyatakan bahwa siswa di sekolah dengan tingkat kepadatan iklan rokok kategori menengah hingga tinggi memiliki kemungkinan merokok 2,16 kali lebih besar dibandingkan mereka yang tinggal di wilayah dengan iklan rokok lebih sedikit.

 

Media Sosial: Kanal Baru Iklan Rokok

 

Penelitian terbaru (Sifai, Nurjanah, Aprianti, dan Wulan, 2024) mengungkapkan bahwa masyarakat paling sering terpapar iklan rokok melalui spanduk, display toko, televisi, dan baliho, dengan persentase di atas 80–90%. Namun, bagi mahasiswa dan pekerja muda, media sosial menjadi kanal utama.

 

Semakin sering seseorang terpapar iklan, promosi, atau sponsor rokok (IPSR), semakin besar niat mereka untuk merokok. Data menunjukkan bahwa dari responden dengan tingkat paparan tinggi, 39,8% mengaku memiliki niat untuk merokok. Yang mencemaskan, sekitar 50% masyarakat masih memiliki literasi media yang rendah—tidak cukup peka membedakan mana informasi dan mana promosi terselubung.

 

Remaja dalam Bahaya: Tingginya Niat untuk Merokok

 

Kelompok pelajar merupakan salah satu yang paling rentan. Survei menunjukkan bahwa 4 dari 10 pelajar sudah memiliki niat untuk merokok. Jika dibiarkan, kebiasaan ini bisa terbawa hingga dewasa dan menimbulkan risiko kesehatan jangka panjang.

Niat untuk merokok sangat erat kaitannya dengan perilaku merokok itu sendiri. Artinya, remaja yang sudah memiliki keinginan untuk mencoba rokok berisiko besar benar-benar menjadi perokok aktif dalam waktu dekat.

 

Bagaimana Respons Pemerintah?

 

Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2024 sebagai bentuk pelaksanaan UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Namun, efektivitas pelaksanaannya masih dipertanyakan.

 

Penelitian lanjutan oleh Izzatul Alifah Sifai dkk. menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat belum mendukung penuh pelarangan iklan rokok di tempat umum. Sekitar 50% responden tidak setuju jika iklan rokok dilarang di angkutan umum, tempat olahraga, atau jalan utama. Bahkan, masih banyak yang menolak pelarangan sponsor rokok dalam kegiatan pendidikan, olahraga, dan konser musik.

 

Data yang Mengkhawatirkan: Perokok Pemula di Kalangan Remaja

 

Survei di Kota Semarang dan sekitarnya mengungkapkan bahwa 4,7% anak dan 65,6% remaja telah menjadi perokok pemula. Angka ini mencerminkan keberhasilan industri rokok dalam menargetkan generasi muda sebagai pasar potensial jangka panjang.

 

Promosi Terselubung: Pengaruh Bawah Sadar yang Mengancam

 

Dalam dunia periklanan, terdapat istilah subliminal promotion, yaitu bentuk promosi tersembunyi yang menyasar alam bawah sadar konsumen. Strategi ini bisa berupa simbol, warna, suara, atau penempatan produk secara tak langsung—misalnya dalam film atau video musik—yang memengaruhi persepsi masyarakat tanpa disadari.

 

Dalam konteks rokok, promosi seperti ini sering kali tidak terlihat secara langsung sebagai iklan. Bagi masyarakat dengan tingkat literasi media rendah, bentuk promosi ini bisa sangat efektif dalam membentuk citra positif tentang rokok.

 

Saatnya Melawan Promosi Tersembunyi Rokok

 

Sudah waktunya masyarakat lebih kritis dalam menanggapi iklan dan promosi rokok, terutama yang tersembunyi di balik kemasan menarik atau konten digital yang tampak tidak berbahaya. Perlindungan terhadap generasi muda harus menjadi prioritas. Pemerintah perlu memperkuat regulasi dan memastikan pelaksanaan di lapangan berjalan efektif.

 

Tanpa literasi media yang baik, kita akan terus menjadi sasaran empuk bagi industri rokok. Saatnya membongkar topeng daya tarik rokok, dan melihatnya sebagai apa adanya: produk adiktif yang membahayakan kesehatan generasi masa depan.