Oleh: Kismi Mubarokah
🧑‍💼 Identitas Penulis
![]() |
Kismi Mubarokah, S.KM., M.Kes Dosen Fakultas Kesehatan Universitas Dian Nuswantoro Sinta ID: 6144413 |
![]() |
Haikal, S.KM., M.KM (Editor) Dosen Fakultas Kesehatan Universitas Dian Nuswantoro Scopus ID: 57330903300 Sinta ID: 6731731 |
Tuberkulosis (TBC) bukan penyakit baru, tapi masih menjadi ancaman besar di Indonesia. Meski pengobatannya tersedia gratis di puskesmas, kasusnya tetap tinggi dan penularannya cepat, terutama di daerah padat penduduk. Banyak orang masih mengira TBC hanya batuk biasa, padahal ini penyakit menular yang bisa berakibat fatal jika tidak diobati dengan benar.
Menurut laporan WHO tahun 2022, Indonesia menempati posisi kelima dunia dengan jumlah kasus TBC terbanyak, setelah India, Filipina, Pakistan, dan Nigeria. Dari setiap 100 ribu orang Indonesia, sekitar 400 pernah didiagnosis TBC. Artinya, kemungkinan besar di sekitar kita—tetangga, rekan kerja, atau bahkan anggota keluarga—ada yang sedang berjuang melawan TBC.
Yang membuat TBC semakin berbahaya adalah sifatnya yang menular lewat udara. Satu orang penderita TBC aktif bisa menularkan ke 10–15 orang lain dalam setahun, apalagi jika tinggal di rumah sempit tanpa ventilasi. Sayangnya, banyak orang masih salah paham: ada yang percaya TBC bisa sembuh dengan jamu, ada yang berhenti minum obat setelah merasa sehat, dan ada pula yang takut dekat dengan penderita. Sikap salah kaprah ini justru memperpanjang rantai penularan.
Melawan TBC tidak cukup hanya dengan obat. Kita juga butuh literasi kesehatan—kemampuan untuk mencari, memahami, menilai, dan menerapkan informasi kesehatan. Contohnya, masih banyak yang percaya TBC menular lewat makanan atau hanya karena ‘masuk angin’. Padahal, TBC menular lewat udara dan gejalanya bisa dikenali sejak awal: batuk lebih dari dua minggu, keringat malam, dan berat badan turun.
Untuk mengukur seberapa paham masyarakat tentang TBC, tim peneliti dari Universitas Dian Nuswantoro mengembangkan TBL-20Q-IDN, sebuah kuesioner berisi 20 pertanyaan sederhana. Alat ini diuji pada 1.400 warga Semarang dan terbukti efektif. Dengan instrumen ini, petugas kesehatan bisa mengetahui informasi apa yang masih kurang dipahami warga, lalu menyusun edukasi yang lebih tepat sasaran.
Langkah kecil bisa berdampak besar. Mulailah dari rumah: buka jendela setiap pagi agar udara segar masuk, jangan batuk atau meludah sembarangan, ajak keluarga yang batuk lebih dari dua minggu untuk periksa ke puskesmas, dan dukung penderita agar tidak berhenti minum obat meskipun sudah merasa sehat.
Melawan TBC butuh kerja sama semua pihak. Pemerintah harus menyediakan layanan kesehatan yang mudah dijangkau, media menyebarkan informasi yang benar dengan bahasa sederhana, dan masyarakat saling mendukung, bukan mengucilkan penderita. Penderita TBC bukan musuh, melainkan saudara yang butuh dukungan.
Target Indonesia bebas TBC pada tahun 2030 bukan mustahil—asal kita mau bergerak, bukan hanya dengan obat, tapi juga dengan pengetahuan yang menyelamatkan nyawa. Literasi TBC adalah vaksin sosial yang bisa melindungi kita semua.



Recent Comments