Oleh: Aprianti

🧑‍💼 Identitas Penulis

Foto Aprianti Aprianti, S.KM., M.Kes
Dosen Fakultas Kesehatan Universitas Dian Nuswantoro
Sinta ID: 6742392
Haikal, S.KM., M.KM (Editor)
Dosen Fakultas Kesehatan Universitas Dian Nuswantoro
Scopus ID: 57330903300
Sinta ID: 6731731

Saat kita berbelanja di supermarket, hampir semua produk kemasan punya label gizi: kalori, gula, lemak, protein, sampai vitamin. Tapi jujur saja, seberapa sering kita benar-benar membaca label itu sebelum memasukkan produk ke keranjang belanja?

Studi terbaru di Semarang mengungkap fakta mengejutkan: hanya 3,9% orang usia produktif yang benar-benar paham cara membaca label gizi. Artinya, lebih dari 9 dari 10 orang masih bingung atau bahkan tidak pernah menggunakannya. Padahal, label gizi adalah ‘harta tersembunyi’ untuk menjaga kesehatan. Dengan membacanya, kita bisa menghindari risiko obesitas, diabetes, hingga penyakit jantung.

Sejak 2005, BPOM mewajibkan label gizi di setiap produk kemasan. Tabel itu berisi ukuran saji, jumlah kalori, persen kebutuhan harian, dan bahan tambahan. Secara teori, ini memudahkan konsumen memilih makanan lebih sehat. Namun kenyataannya, mayoritas orang Indonesia tidak terbiasa membaca label. Data BPKN menunjukkan hanya 6,7% konsumen di Indonesia memperhatikan label gizi, jauh lebih rendah dibanding Eropa (27%).

Penelitian terhadap 1.029 orang usia 15–65 tahun di Kota Semarang menemukan bahwa 8 dari 10 orang salah menghitung kalori jika menghabiskan satu kemasan es krim. Mayoritas juga salah membaca label alergen, tidak tahu ada kandungan yang bisa memicu alergi. Faktor pendidikan sangat berpengaruh—semakin tinggi pendidikan, semakin paham. Sementara itu, orang yang tidak bekerja di bidang kesehatan berisiko 4–5 kali lebih besar memiliki literasi gizi rendah. Menariknya, kemampuan baca label tidak otomatis berhubungan dengan status gizi (IMT). Jadi meskipun tidak paham label, seseorang bisa saja terlihat ‘normal’ karena faktor lain seperti pola makan keluarga atau aktivitas fisik.

Mengabaikan label gizi bukan sekadar soal malas membaca, tapi punya dampak nyata. Gula dan kalori tersembunyi bisa bikin kita makan berlebihan tanpa sadar, meningkatkan risiko obesitas. Penyakit degeneratif seperti diabetes, hipertensi, dan penyakit jantung juga erat kaitannya dengan pola makan. Kesenjangan kesehatan makin lebar karena kelompok pendidikan rendah dan non-kesehatan jadi lebih rentan.

Lalu, kenapa label gizi sulit dipahami? Banyak konsumen merasa bahasanya terlalu ilmiah—istilah seperti ‘lemak jenuh’ atau ‘natrium’ terdengar asing. Hitungannya pun ribet: takaran saji, persen kebutuhan harian, dan perhitungan kalori butuh waktu. Ditambah lagi, saat belanja, orang lebih fokus pada harga, rasa, atau merek. Akibatnya, lebih dari separuh konsumen menilai label gizi ‘terlalu rumit’ sehingga diabaikan.

Meski tantangannya besar, bukan berarti mustahil. Perubahan bisa dimulai dari hal kecil: luangkan beberapa detik membaca kalori, gula, atau lemak sebelum membeli. Bandingkan dua produk sejenis, pilih yang lebih sehat. Ajak keluarga terutama anak-anak untuk ikut belajar membaca label. Label gizi bukan sekadar angka kecil di balik kemasan. Ia adalah ‘harta tersembunyi’ yang bisa mengarahkan kita menuju hidup lebih sehat. Pilihan kecil di rak supermarket bisa jadi langkah besar mencegah penyakit di masa depan.