Oleh Dr. Eti Rimawati, S.KM., M.Kes

🧑‍💼 Identitas Penulis

Dr. Eti Rimawati Dr. Eti Rimawati, S.KM., M.Kes
Dosen Fakultas Kesehatan Universitas Dian Nuswantoro
Scopus ID: 57194598155
Sinta ID: 6164891
Aprianti Aprianti, S.KM., M.Kes (Editor)
Dosen Fakultas Kesehatan Universitas Dian Nuswantoro
Sinta ID: 6742392

Di sebagian besar Asia, orang tua masih enggan mengucapkan kata-kata seperti penis atau vagina. Mereka malah menggunakan nama panggilan— burung, bunga, pee-pee. Nama-nama itu mungkin terdengar polos, bahkan penuh kasih sayang. Namun, kebiasaan berbahasa ini menyembunyikan kesunyian budaya yang lebih dalam—yang membuat jutaan anak tidak terlindungi dari kekerasan seksual.

Keheningan yang Berbahaya berasal dari Rumah

Di banyak rumah tangga Asia, pembicaraan tentang seks atau tubuh manusia dianggap memalukan atau tidak pantas, terutama antara orang tua dan anak-anak. Ketika anak-anak bertanya tentang tubuh mereka, orang dewasa sering kali menanggapi dengan tertawa, malu, atau diam.

Namun, diam seperti ini bisa berbahaya. Tanpa kata-kata atau pemahaman yang tepat, anak-anak mungkin tidak mengenali perilaku yang tidak pantas atau tidak tahu cara mencari bantuan ketika merasa ada yang salah.

Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan tren yang mengkhawatirkan: kasus pelecehan seksual anak yang dilaporkan meningkat lebih dari dua kali lipat dari tahun 2019 ke tahun 2020. Peningkatan serupa juga dilaporkan di Filipina, Thailand, dan India — sebagian besar terkait dengan eksploitasi daring dan kekerasan dalam rumah tangga. Para ahli yakin angka-angka ini hanyalah puncak gunung es, karena rasa malu dan takut membuat banyak korban anak bungkam.

Pendidikan Seks Bukan Tentang Seks

Salah satu kesalahpahaman terbesar di masyarakat Asia adalah bahwa mengajarkan anak-anak tentang seks akan mendorong perilaku seksual dini. Kenyataannya, pendidikan seks yang sesuai usia bukanlah tentang aktivitas seksual — melainkan tentang keamanan, rasa hormat, dan pemahaman batasan.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan seksualitas sebagai bagian dari kesehatan manusia secara keseluruhan, termasuk kesejahteraan emosional, sosial, dan fisik. Mengajari anak-anak nama-nama bagian tubuh yang tepat bukanlah ancaman moral; melainkan sebagai perlindungan kepada anak.

Penelitian dari Dr. Eti Rimawati, M.Kes, yang dilakukan terhadap 224 orang tua di Semarang, Indonesia, menunjukkan bahwa orang tua menggunakan 27 bahasa atau simbol berbeda untuk alat kelamin — hampir tidak ada yang menggunakan istilah medis. Alasannya sederhana: rasa malu. Ketidaknyamanan ini mencerminkan budaya tabu yang masih ada di banyak masyarakat Asia.

“Ketika kita membuat bagian tubuh tak terucapkan, kita membuat penyiksaan tak terlihat.”

Belajar Melalui Bermain kepada Anak Efektif Meningkatkan Literasi

Penelitian di Indonesia menyimpulkan bahwa metode interaktif dan berbasis permainan adalah cara paling efektif untuk mengajarkan anak-anak tentang kesadaran tubuh dan keselamatan pribadi.

  • Permainan roda berputar meningkatkan pengetahuan tentang tubuh pada anak-anak prasekolah.
  • Modul anatomi manusia membantu siswa memahami privasi dan rasa hormat.
  • Video animasi dan infografis berbasis cerita mengajak orang tua dan anak untuk belajar bersama di rumah.

Pendekatan kreatif ini menjadikan pembelajaran tentang tubuh terasa alami dan tanpa rasa malu — tidak seperti kuliah tradisional yang seringkali terasa tidak nyaman atau menggurui. Sayangnya, sebagian besar program di Asia masih mengandalkan metode kuno dan jarang menggunakan perangkat digital, meskipun anak-anak zaman sekarang sudah menjadi digital natives.

Dari Belajar melalui permainan ini dapat meningkatkan literasi kesehatan reproduksi anak. Hal ini penting bagi anak-anak karena membantu mereka memahami tubuh, pubertas, dan kesehatan secara keseluruhan sejak usia dini. Pendidikan ini juga melindungi anak-anak dari kekerasan seksual, memberdayakan mereka untuk membuat keputusan yang tepat tentang tubuh mereka, dan mempromosikan norma-norma kesehatan yang positif.

Orang Tua sebagai Guru Pertama

Orang tua tetap menjadi pendidik paling berpengaruh dalam kehidupan seorang anak. Namun, banyak orang dewasa tidak pernah belajar bagaimana membicarakan kesehatan reproduksi sejak dini, sehingga mereka mewariskan kebisuan mereka kepada generasi berikutnya.

Kabar baiknya, memecah keheningan ini tidak memerlukan pendidikan formal — bisa dimulai dari momen-momen kecil sehari-hari. Saat memandikan atau mendandani anak, orang tua dapat menggunakan istilah yang tepat untuk bagian tubuh, menjelaskan area mana yang bersifat pribadi, dan menekankan pentingnya persetujuan dan rasa aman.

Kedekatan orang tua sangat penting untuk meningkatkan pendidikan kesehatan reproduksi bagi anak karena orang tua adalah sumber informasi pertama yang terpercaya dan memiliki ikatan emosional untuk mengomunikasikan topik sensitif ini dengan tepat dan sesuai usia. Kedekatan ini juga membangun fondasi pemahaman yang sehat, melindungi anak dari misinformasi, dan menciptakan lingkungan keluarga yang suportif sehingga anak merasa percaya diri dalam bertanya dan mengambil keputusan yang bertanggung jawab.

“Semakin dini kita berbicara tentang tubuh, semakin aman anak-anak.”

Budaya Tabu yang menjadi Penghambat

Sensitivitas agama dan budaya seringkali membuat diskusi tentang pendidikan seks menjadi sulit. Banyak orang tua dan guru khawatir bahwa percakapan ini akan bertentangan dengan nilai-nilai tradisional atau agama. Namun, menghindari topik ini tidak menjaga moralitas — justru meningkatkan kerentanan.

Dalam penelitian lanjutan yang dilakukan oleh Dr. Eti Rimawati, M.Kes lebih dari separuh orang tua mengaku merasa tidak nyaman menggunakan istilah anatomi. Beberapa khawatir anak-anak mereka akan menjadi “terlalu ingin tahu.” Faktanya penelitian menunjukkan sebaliknya: anak-anak yang terinformasi cenderung tidak terlibat dalam perilaku berisiko dan lebih mungkin melaporkan menjadi korban kekerasan.

Beberapa tips untuk berkomunikasi dengan anak berdasarkan usia:

  • Untuk anak kecil (5–9 tahun): Fokus pada bagian tubuh, batasan, privasi, dan keselamatan (“sentuhan yang baik vs. sentuhan yang buruk”).
  • Untuk pra-remaja (10–12 tahun): Tambahkan topik seperti perubahan pubertas, emosi, menstruasi, dan rasa hormat terhadap orang lain.
  • Untuk remaja (13+): Diskusikan hubungan, persetujuan, kontrasepsi, dan konsekuensi perilaku berisiko.

Apa yang Dapat Dilakukan Pemerintah dan Sekolah

Melindungi anak-anak dari kekerasan seksual tidak hanya terkait keluarga, tetapi juga membutuhkan kolaborasi antara sekolah dan pemerintah. Para pembuat kebijakan dapat:

  • Integrasikan pendidikan seks yang sesuai usia ke dalam program kesehatan sekolah dan masyarakat.
  • Melatih guru dan pekerja kesehatan untuk berbicara tentang seksualitas dengan cara yang peka terhadap budaya.
  • Ciptakan media digital lokal — kartun, buku cerita, dan aplikasi — yang mengajarkan kesadaran tubuh menggunakan konteks budaya yang familiar.
  • Jalankan kampanye publik yang menormalkan percakapan terbuka tentang tubuh dan persetujuan.

Melanggar tabu tidak berarti menolak nilai-nilai budaya — melainkan memperkuatnya dengan melindungi martabat dan kesejahteraan anak-anak.

Kunci pendidikan kesehatan reproduksi bagi anak

Kata-kata itu penting. Ketika anak-anak diajari bahwa bagian tubuh tertentu “tak terucapkan”, mereka kehilangan kosakata untuk menggambarkan bahaya atau mencari pertolongan.

Pendidikan seks dini bukan tentang mempromosikan perilaku seksual. Pendidikan seks dini bertujuan untuk memberdayakan anak-anak agar memahami, menghormati, dan melindungi tubuh mereka.

Ketika orang tua, guru, dan pemerintah bekerja sama untuk mengganti keheningan dengan percakapan, mereka tidak mengancam tradisi — mereka menjaga nilai yang paling penting dari semuanya: keselamatan dan martabat setiap anak.

“Diam bukanlah kerendahan hati. Diam adalah kerentanan yang disamarkan sebagai kebajikan.”

Artikel ini berdasarkan penelitian dari:

  • “Methods of Early Childhood Sex Education in Indonesia” (JKMA, 2018)
    Lihat artikel
  • “Assessing Reproductive Health Literacy: Terms of Sex Genital among Caregivers in Semarang City” (SEEJPH, 2022)
    Lihat artikel