Oleh Dr. Eko Hartini, ST, M.Kes

🧑‍💼 Identitas Penulis

Dr. Eko Hartini Dr. Eko Hartini, ST, M.Kes
Dosen Fakultas Kesehatan Universitas Dian Nuswantoro
Scopus ID: 57203197581
Sinta ID: 6138284
Aprianti Aprianti, S.KM., M.Kes (Editor)
Dosen Fakultas Kesehatan Universitas Dian Nuswantoro
Sinta ID: 6742392

Pernahkah kamu membuang bungkus makanan dari plastik atau kantong kresek dengan perasaan lega karena merasa urusanmu dengan sampah “sudah selesai”? Piring bersih, dapur rapi, dan hati tenang, seolah-olah semua hilang bersama truk pengangkut sampah yang datang setiap pagi. Tapi sayangnya, sampah-sampah tadi, terutama plastik tak benar-benar hilang. Sampah plastik hanya berpindah tempat, dari tangan manusia ke tumpukan besar sampah yang menggunung di pinggiran kota.

Di Kota Semarang Tempat Pembuangan Akhir (TPA) berada di Jatibarang. Truk-truk sampah datang silih berganti, membawa sampah-sampah kita seperti: botol air mineral, bungkus deterjen, sedotan, popok bayi, hingga masker sekali pakai. Semuanya berakhir di satu tempat yang kini menjadi bukit sampah buatan, simbol dari gaya hidup kita yang asal membuang sampah.

Sejak mulai beroperasi pada tahun 1993, Jatibarang menjadi saksi bisu bagaimana kota bertumbuh seiring bertambahnya timbunan sampah. Lebih dari tiga dekade, tanah di sana terus tercemar residu kehidupan manusia, menelan sisa-sisa plastik yang tak bisa dicerna oleh alam. Berdiri di puncak TPA, kita akan mencium aroma khas dari gunungan sampah yang menandakan panjangnya perjalanan limbah kota. Namun yang menarik dan sekaligus mengerikan adalah bagaimana plastik-plastik itu tidak pernah benar-benar musnah. Mereka berubah bentuk, perlahan mengecil, hancur, dan menyusup ke pori-pori tanah, menjadi sesuatu yang tak lagi terlihat mata, tapi tetap hidup dan berbahaya: mikroplastik.

Plastik-plastik kecil ini, lebih kecil dari butiran garam, mengalir bersama air hujan, menempel pada akar tanaman, bahkan mungkin ikut terbawa angin. Mereka seolah menyamar, menjadi bagian dari bumi yang pernah kita anggap bersih. Dalam diam, mereka mengubah tanah menjadi ruang yang asing: tanah yang akhirnya tercemar plastik, bukan tanah subur yang menumbuhkan kehidupan.

Tanah dan Air yang Tercemar

Tanah mampu menyimpan air, memberi makan tanaman, dan menjadi rumah bagi jutaan mikroorganisme. Tapi ketika plastik masuk, ekosistem itu terganggu.

Para peneliti menemukan bahwa mikroplastik mengubah sifat fisik dan kimia tanah. Misalnya, pori-pori tanah tersumbat sehingga air susah meresap. Akibatnya, kemampuan tanah untuk menahan air menurun. Di TPA Jatibarang, zona aktif—tempat pembuangan yang masih berjalan—memiliki kadar air terendah, hanya sekitar 20%, sedangkan di area dekat pemukiman mencapai hampir 29%. Pada area aktif TPA Jatibarang, tanah cenderung memiliki kadar air yang rendah, sekitar 20 persen, karena lapisan sampah baru yang terus ditimbun membuat struktur tanah menjadi padat dan pori-porinya tertutup. Akibatnya, kemampuan tanah untuk menyerap dan menahan air berkurang. Sebaliknya, di area yang berdekatan dengan pemukiman, kadar air tanah lebih tinggi, hampir mencapai 29 persen. Hal ini disebabkan oleh kondisi tanah yang lebih gembur serta adanya tumbuhan dan aktivitas manusia yang membantu menjaga kelembaban tanah. Perbedaan kadar air ini menunjukkan bahwa aktivitas pembuangan sampah secara terus-menerus tidak hanya menumpuk limbah, tetapi juga mengubah sifat fisik tanah dan menurunkan kemampuannya untuk menyerap air dan mengganggu keseimbangan lingkungan.

Selain itu, tanah yang terkontaminasi mikroplastik jadi lebih padat (bulk density tinggi), dan pH-nya bisa berubah dari netral ke agak basa. Semua perubahan akan berdampak pada kemampuan tanah menopang kehidupan. Jika mikroplastik bisa ikut terbawa air hujan ke sumur, ia berpotensi mencemari air minum kita. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Eko Hartini dkk. (2025), tim peneliti menemukan variasi bentuk dan warna mikroplastik. Ada yang berbentuk film tipis (seperti bekas bungkus plastik), serpihan kecil, serat halus, bahkan butiran kecil seperti pelet. Warna-warnanya juga beragam: bening, hitam, hijau, biru, merah, dan ungu,seakan tanah kini ikut berpesta warna.

Namun di balik warna-warna itu, ada tragedi: warna bening dan hitam paling banyak, menunjukkan dominasi limbah rumah tangga seperti kantong sampah dan kemasan makanan. Setiap warna menceritakan kisah, siapa yang membuang, dari mana asalnya, dan betapa sulitnya plastik itu lenyap dari muka bumi.

Dan karena partikel-partikel ini ringan, ia bisa berpindah tempat dengan mudah. Hujan membawa mereka ke bawah tanah. Angin meniupnya ke udara. Bahkan hewan tanah seperti cacing bisa ikut menelan partikel ini, dan di sanalah, rantai makanan mulai terkontaminasi.

Mikroplastik: Si Kecil yang berbahaya bagi tubuh

Eko Hartini dkk. (2025), tim peneliti menemukan fakta mencengangkan: tanah di TPA Jatibarang mengandung hingga 2.340 partikel mikroplastik per kilogram tanah. Angka ini bukan sekadar statistik, itu berarti setiap genggam tanah bisa membawa ratusan partikel plastik mikroskopis yang tak kasatmata.

Jenis mikroplastik yang paling banyak ditemukan adalah polipropilena (PP), polistirena (PS), dan low-density polyethylene (LDPE), tiga bahan utama dari benda-benda sehari-hari: kantong belanja, bungkus makanan, hingga wadah plastik. Diantara semuanya, polipropilena menjadi si “juara bertahan”, paling banyak digunakan dan paling sulit terurai. Ironisnya, mikroplastik ini paling banyak ditemukan di area TPA yang dekat dengan pemukiman warga. Artinya, bahkan tanpa sadar, lingkungan tempat kita tinggal sudah tercemar plastik dari bawah tanah.

Apa yang terjadi ketika tanah tercemar mikroplastik? Jawabannya sederhana: pada akhirnya, tubuh kita juga akan tercemar mikroplastik.

Beberapa penelitian global menunjukkan bahwa mikroplastik kini telah ditemukan di hampir semua tempat, di udara, laut, sungai, bahkan di dalam darah manusia dan plasenta ibu hamil. Mikroplastik bisa masuk ke tubuh melalui makanan, air, dan udara. Di dalam tubuh, partikel ini diduga bisa memicu stres oksidatif, gangguan hormon, hingga risiko kanker. Jadi, jika kamu makan sayur dari kebun rumah yang tanahnya dekat TPA, atau minum air dari sumur yang terhubung dengan aliran bawah tanah Jatibarang, ada kemungkinan kecil (tapi nyata) bahwa kamu sedang “mencicipi” jejak plastik masa lalu kita sendiri.

Literasi Masyarakat untuk Mengurangi Pencemaran Mikroplastik

Eko Hartini dan timnya tidak berhenti pada diagnosis masalah. Mereka menyerukan perbaikan pengelolaan TPA Jatibarang, yang hingga kini masih beroperasi lebih dari 30 tahun, jauh melebihi rencana awalnya. Langkah-langkah sederhana seperti pemisahan sampah di sumber, daur ulang aktif, dan pengolahan leachate (air lindi) yang lebih baik dapat membantu mengurangi migrasi mikroplastik ke tanah dan air. Tapi lebih dari itu, perubahan besar ada di level kesadaran dimana literasi masyarakat terkait pengelolaan sampah harus ditingkatkan.

Untuk melindungi kesehatan masyarakat di sekitar TPA Jatibarang, diperlukan upaya terpadu yang mencakup pengelolaan lingkungan dan intervensi kesehatan preventif. Pemerintah daerah perlu memperkuat pengawasan kualitas air tanah dan sumur warga, terutama di area yang berdekatan dengan lokasi pembuangan, guna mendeteksi kemungkinan kontaminasi mikroplastik sejak dini. Selain itu, masyarakat perlu didorong untuk tidak menggunakan air tanah secara langsung untuk konsumsi tanpa proses penyaringan atau perebusan. Program edukasi lingkungan dan kesehatan juga penting dilakukan, agar warga memahami bahaya mikroplastik serta cara mengurangi paparan—misalnya dengan mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, memilah sampah rumah tangga, dan memanfaatkan bank sampah. Dari sisi kebijakan, pemerintah dapat memperkuat sistem pengelolaan sampah berbasis masyarakat, mendorong daur ulang dan pemilahan di sumber, serta memperbaiki sistem pengolahan air lindi (leachate) di TPA untuk mencegah rembesan polutan ke lingkungan. Upaya lintas sektor ini bukan hanya menjaga kualitas tanah dan air, tetapi juga melindungi kesehatan generasi yang hidup di sekitar kawasan TPA.