🧑‍💼 Identitas Penulis
|
Widya Ratna Wulan, S.KM., M.K.M Dosen Fakultas Kesehatan Universitas Dian Nuswantoro Sinta ID: 6748262 Scopus ID: 57221739739 |
|
Puput Nur Fajri, S.KM (Video Developer) Fakultas Kesehatan Universitas Dian Nuswantoro |
“Fenomena rokok dan vape di kalangan remaja Indonesia kini makin mengkhawatirkan. Di tengah gempuran iklan media sosial, konten influencer, dan promosi yang terlihat “keren” serta “modern”, semakin banyak anak muda yang mulai mencoba hingga akhirnya ketergantungan pada nikotin.
Video ini mengajak kita untuk melihat lebih dekat bagaimana rokok konvensional dan elektronik menyusup ke kehidupan sehari-hari remaja—mulai dari kafe, sekolah, hingga layar ponsel mereka. Lebih dari sekadar tren, ini adalah strategi industri besar untuk menargetkan anak muda sebagai konsumen jangka panjang.
Kini saatnya kita bersama-sama membuka mata dan melindungi generasi masa depan. Keren tidak harus berasap. Kesadaran harus dimulai dari kita—orang tua, guru, teman sebaya, dan para remaja itu sendiri.
”
Silakan tonton video berikut hingga selesai agar Anda mendapatkan pemahaman yang lebih dengan judul “Keren Tanpa Asap: Melihat Ulang Fenomena Merokok Remaja Indonesia”
*Jika video tidak tampil, mohon muat ulang halaman atau periksa koneksi internet Anda.*
Nge-Vape, Nge-Smoke, Ngejebak? Indonesia
Indonesia, negeri dengan lebih dari 70 juta perokok aktif. Kini, wajah perokok muda mulai berubah. Rokok bukan lagi hanya batang tembakau yang dibakar, tapi juga berbentuk asap wangi dari perangkat elektronik kecil bernama vape.
Penelitian terbaru dari Universitas Dian Nuswantoro dan Imperial College London mengungkap, penggunaan rokok elektronik atau e-cigarette di Indonesia meningkat pesat terutama di kalangan remaja dan dewasa muda berusia 15 hingga 24 tahun.
Dalam survei yang melibatkan lebih dari 1.200 responden di lima kota besar Indonesia, sekitar 29% remaja pernah menggunakan vape, dan 13% masih aktif menggunakannya hingga kini.
Lebih dari 84% remaja Indonesia pernah melihat promosi atau iklan rokok elektronik di platform seperti Instagram, YouTube, dan Facebook.
Dan yang mengejutkan, remaja yang sering terpapar iklan tersebut hampir tujuh kali lebih mungkin mencoba vape, bahkan tiga belas kali lebih mungkin menjadi pengguna aktif.
Banyak remaja terpengaruh karena konten yang tampak “keren” dan “modern”. Penelitian ini juga menemukan bahwa selebriti dan influencer berperan besar dalam membentuk persepsi bahwa vape itu lebih bersih, lebih aman, dan lebih gaul dibanding rokok biasa.
Padahal, kenyataannya tidak sesederhana itu.
Mereka juga percaya vape tidak seberbahaya rokok konvensional. Persepsi ini muncul dari review dan video promosi di media sosial yang terus membombardir layar mereka setiap hari.
Kini, Indonesia menghadapi dua wajah dari masalah yang sama rokok konvensional yang masih mendominasi, dan rokok elektronik yang mulai menjerat generasi muda dalam bentuk baru. Dari sisi penjualan, rokok konvensional dijual bebas di toko-toko, sementara vape banyak dijajakan secara daring, bahkan oleh influencer tanpa regulasi yang jelas.
Pemerintah sempat mencoba membatasi iklan rokok di internet. Namun, hasilnya belum signifikan. Lebih dari seratus akun di media sosial masih aktif mempromosikan produk ini hingga sekarang.
Fenomena ini bukan sekadar tren gaya hidup. Ini adalah tanda bahwa strategi pemasaran industri rokok berhasil menyusup ke ruang paling pribadi anak muda: ponsel mereka.
Melawan normalisasi rokok, baik konvensional maupun elektronik, bukan hanya tugas pemerintah. Ini tentang kita orang tua, guru, teman, dan remaja itu sendiri untuk mulai sadar, bahwa keren bukan berarti harus berasap.
Mari jaga generasi muda Indonesia dari ilusi kebebasan yang sesungguhnya adalah bentuk baru dari ketergantungan.
Keren Tanpa Asap: Melihat Ulang Fenomena Merokok Remaja Indonesia
Di setiap sudut kota, dari halte sekolah sampai kafe yang ramai, asap rokok masih menjadi pemandangan biasa. Tapi kini, bentuk asapnya tak selalu sama. Kadang berbau tembakau, kadang aroma buah tropis dari alat kecil yang disebut vape.
Rokok, dalam bentuk apa pun, masih menjadi simbol “dewasa” bagi sebagian remaja. Bukan karena mereka tak tahu risikonya, tapi karena dunia sekitar iklan, teman, dan media sosial telah menjadikannya terlihat normal, bahkan keren.
Penelitian menunjukkan, sebagian besar remaja Indonesia kini tumbuh dalam era di mana iklan rokok konvensional dan elektronik hadir di layar setiap hari. Di TikTok, Instagram, atau YouTube, vape tampil sebagai gaya hidup yang “modern”, “bersih”, dan “lebih aman”.
Padahal, nikotin tetap nikotin. Kandungannya tetap bisa membuat ketagihan.
Data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan, lebih dari 9 juta remaja di Indonesia pernah mencoba merokok. Sementara itu, penggunaan rokok elektronik meningkat hingga tiga kali lipat dalam lima tahun terakhir. Dan tren ini terus naik, seiring semakin masifnya promosi melalui media sosial dan komunitas daring. Banyak yang memulai hanya karena rasa ingin tahu. Tapi rasa ingin tahu bisa berubah jadi kebiasaan, dan kebiasaan menjadi ketergantungan.
Sebagian percaya, “vape lebih aman.” Namun penelitian global justru menunjukkan bahwa kandungan zat kimianya dapat menyebabkan gangguan paru-paru dan menurunkan kapasitas pernapasan dalam jangka panjang.
Di balik asap yang mengepul, ada industri besar yang terus beradaptasi.
Saat penjualan rokok konvensional mulai menurun, perusahaan tembakau beralih ke vape dan produk nikotin alternatif. Targetnya tetap sama: anak muda.
Mereka tahu, remaja bukan hanya pembeli mereka juga promotor gratis.
Satu postingan di Instagram, satu video “review” di TikTok, bisa menginspirasi ribuan orang lain untuk ikut mencoba.
Masalahnya, percakapan tentang rokok masih tabu di banyak kalangan keluarga. Orang tua jarang tahu bagaimana cara memulai pembicaraan, dan sekolah pun seringkali hanya memberi larangan tanpa penjelasan yang menyentuh hati.
Kita sering lupa bahwa di balik kebiasaan merokok, ada keinginan yang lebih dalam: diterima, dianggap keren, atau sekadar ingin terlihat seperti orang dewasa.
Tapi kedewasaan sejati bukan tentang asap yang dihembuskan, melainkan tentang keputusan yang berani untuk berkata: “Cukup.”
Fenomena merokok di kalangan remaja bukan sekadar soal gaya hidup, tapi cermin dari bagaimana lingkungan, industri, dan teknologi membentuk pilihan generasi muda.
Kini saatnya kita semua orang tua, sekolah, media, dan teman sebaya membantu mereka menemukan cara lain untuk merasa “cukup keren”, tanpa harus mengorbankan paru-paru dan masa depan.
Author : Widya Ratna Wulan, S.KM., M.K.M
Video Developer : Puput Nur Fajri, S.KM

Recent Comments