🧑‍💼 Identitas Penulis

Adian Khoironi Dr. Adian Khoironi, S.T., M.Si
Dosen Fakultas Kesehatan Universitas Dian Nuswantoro
Scopus ID: 57201676744
Sinta ID: 6756469
Kismi Mubarokah Kismi Mubarokah, S.KM., M.Kes (Editor)
Dosen Fakultas Kesehatan Universitas Dian Nuswantoro
Scopus ID: 57330903400
Sinta ID: 6144413

Ada banyak hewan yang selama ini dikenal berperan dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Paus, misalnya, membantu menjaga stabilitas rantai makanan laut dan membawa nutrisi dari dasar ke permukaan melalui aktivitas menyelamnya. Selain itu babi berjanggut membantu mengolah tanah sekaligus menyebarkan benih melalui perilaku foraging, suatu tindakan mencari dan mengumpulkan makanan dari lingkungan alam, terutama dari tumbuhan, buah-buahan, dan sumber daya alam lainnya. Sementara itu, badak berkontribusi mempertahankan aliran air di habitat alaminya melalui jalur-jalur yang mereka buka. Hewan-hewan besar ini mudah dikenali, sering menjadi sorotan dokumenter, dan kerap dijadikan simbol pelestarian alam.

Namun di balik kehadiran satwa-satwa karismatik tersebut, terdapat organisme yang jauh lebih kecil tetapi memiliki peran ekologis tidak kalah penting. Ukurannya mikroskopis, begitu kecil hingga tidak terlihat oleh mata manusia. Mereka tidak memiliki struktur tubuh kompleks, tidak menghasilkan suara, dan tentu tidak memiliki daya tarik visual. Meski demikian, organisme ini memiliki kemampuan biologis yang sangat relevan dengan persoalan lingkungan saat ini: menguraikan limbah masker sekali pakai.

Masker, yang penggunaannya meningkat drastis selama pandemi, menjadi salah satu sumber sampah baru yang mengandung serat sintetis dan mikroplastik. Banyak diantaranya berakhir di tempat pembuangan terbuka, badan air, hingga ekosistem pesisir. Limbah masker memerlukan waktu sangat lama untuk terdegradasi secara alami, sehingga berpotensi menimbulkan pencemaran jangka panjang.

Dalam konteks inilah peran organisme kecil tersebut menjadi penting. Melalui proses biologis tertentu, mereka mampu memecah komponen masker menjadi fragmen yang lebih kecil, sehingga mempercepat proses degradasi yang sebelumnya dapat memakan waktu puluhan tahun. Keberadaan mereka menunjukkan bahwa solusi terhadap masalah lingkungan tidak selalu datang dari teknologi canggih atau satwa besar yang ikonik, tetapi juga dari organisme sederhana yang bekerja secara senyap di level mikroskopis.

Masalahnya, masker medis bukanlah benda yang mudah hancur. Bahan utamanya adalah plastik – lebih tepatnya polipropilena, polimer sintetis yang dirancang sangat kuat, ringan, dan tahan air. Sifat ini membuat masker efektif menyaring partikel, tetapi juga menjadikannya limbah yang sulit terurai. Polipropilena dapat bertahan ratusan tahun di lingkungan, dan selama waktu itu ia bisa berpindah ke mana saja: terbawa arus sungai, tersangkut di struktur jembatan, terhempas hingga ke laut, bahkan ditemukan dalam jumlah puluhan di dalam saluran pencernaan biota laut seperti kura-kura. Fenomena ini menunjukkan bagaimana limbah kecil yang tampak sepele dapat menimbulkan dampak ekologis yang besar.

Namun, sebuah penelitian dari Indonesia memberikan temuan yang cukup mengejutkan. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa masker medis ternyata dapat terurai lebih cepat ketika bersentuhan dengan organisme akuatik tertentu. Organisme ini bukan hewan yang dapat dilihat dengan mata telanjang, bukan pula makhluk lucu yang bisa dijadikan peliharaan. Mereka adalah mikroorganisme – terutama mikroalga dan bakteri yang hidup di perairan. Mikroorganisme ini bekerja melalui proses biodegradasi, memecah komponen polipropilena menjadi fragmen yang lebih kecil melalui aktivitas metabolik mereka.

Peran mikroorganisme ini dapat dianalogikan seperti pekerja gudang yang jarang terlihat, tetapi tanpanya seluruh sistem bisa berhenti berfungsi. Mereka tidak menonjol, tidak populer, dan tidak menjadi figur kampanye lingkungan. Namun kemampuan mereka untuk mengurai polimer sintetis menunjukkan bahwa solusi terhadap masalah limbah modern dapat datang dari mekanisme biologis yang bekerja secara senyap, stabil, dan terus-menerus di alam.

Penelitian ini dilakukan dengan merendam masker medis dalam empat jenis kondisi: air biasa, air yang mengandung mikroalga Chlorella vulgaris, air dengan bakteri Enterococcus faecalis, serta campuran keduanya. Setelah tiga bulan, masker diperiksa menggunakan mikroskop beresolusi tinggi untuk melihat perubahan pada struktur polimer. Hasilnya cukup mencolok. Masker yang direndam di air biasa tidak menunjukkan perubahan berarti – tetap utuh, kokoh, dan nyaris tidak berbeda dari kondisi saat pertama direndam. Namun masker yang berada dalam media berisi mikroorganisme mulai memperlihatkan tanda-tanda degradasi. Lapisan polipropilena tampak retak, terdapat lubang-lubang mikroskopis, dan permukaannya berubah menjadi kasar, menyerupai tekstur kulit buah yang kehilangan kelembabannya.

Prosesnya dimulai oleh mikroalga yang bekerja sebagai tahap awal biodegradasi. Mikroalga menghasilkan senyawa reaktif yang mengoksidasi permukaan masker, membuat struktur plastik yang sebelumnya stabil menjadi lebih mudah rapuh. Ketika permukaan luar mulai melemah, bakteri mengambil alih peran berikutnya. Mereka membentuk lapisan biofilm yang menempel kuat pada plastik, lalu menembus celah-celah kecil untuk memecah polimer dari dalam melalui aktivitas enzimatik. Mekanisme ini memang tidak berlangsung cepat, tetapi konsisten. Tidak ada perubahan dramatis yang tampak kasat mata, namun proses biologis yang berjalan perlahan ini menunjukkan bahwa mikroorganisme memiliki potensi nyata dalam mempercepat degradasi limbah masker.

Dua organisme mikroskopis ini bekerja layaknya sebuah tim yang berfungsi tanpa perlu koordinasi formal. Tidak ada pemimpin, tidak ada instruksi, tidak ada sistem komando – hanya proses biologis yang berjalan sesuai naluri dan mekanisme alaminya. Mikroalga bertindak sebagai pembuka jalan dengan melemahkan lapisan luar plastik, sementara bakteri melanjutkan proses dengan memecah struktur polimer yang sudah rapuh. Secara perlahan namun konsisten, material plastik yang kuat dan kaku itu mulai terdegradasi oleh makhluk hidup yang ukurannya bahkan tidak mampu dilihat tanpa bantuan mikroskop.

Ketika mikroalga bekerja sendiri, hasil degradasinya terlihat, meski tidak terlalu drastis. Demikian pula ketika bakteri bekerja tanpa pendamping; ada perubahan, tetapi tingkatnya relatif terbatas. Namun ketika keduanya dikombinasikan, efeknya meningkat secara signifikan. Interaksi antara mikroalga dan bakteri menciptakan proses biodegradasi yang lebih efektif dibanding kontribusi masing-masing secara terpisah. Fenomena ini menggambarkan bagaimana hubungan sinergis antar organisme dapat menghasilkan dampak lingkungan yang jauh lebih besar, bahkan jika setiap organisme tersebut memiliki kapasitas terbatas ketika bekerja sendiri.

Analisis menggunakan dua alat laboratorium – Fourier-transform infrared spectroscopy (FTIR) dan X-ray Diffraction (XRD)—membuktikan bahwa plastik masker paling banyak mengalami kerusakan ketika mikroalga dan bakteri bekerja bersama. FTIR membantu melihat seberapa kuat ikatan-ikatan kimia dalam plastik, sementara XRD memperlihatkan seberapa rapat susunan materialnya. Hasil keduanya menunjukkan hal yang sama: struktur plastik melemah, susunannya mulai berantakan, dan masker perlahan-lahan kehilangan kekuatannya. Ini menandakan bahwa proses penguraian benar-benar terjadi, bukan sekadar perubahan di permukaan.

Temuan ini bukan alasan untuk lengah, melainkan pengingat bahwa solusi masa depan sedang disusun sedikit demi sedikit. Namun sampai hari itu tiba, kita tetap memikul tanggung jawab yang sama terkait perilaku membuang masker dengan benar dan mengelola limbah medis dengan hati-hati.

Yang menarik, penelitian ini juga membuka pintu bagi inovasi teknologi hijau. Jika mikroalga dan bakteri mampu melemahkan struktur masker dalam kondisi laboratorium, maka bukan tidak mungkin ilmuwan suatu saat dapat merancang sistem pengolahan limbah yang memanfaatkan kekuatan alami mikroorganisme ini. Bayangkan fasilitas pengolahan sampah medis yang lebih ramah lingkungan, bekerja bukan dengan membakar atau mengubur, tetapi dengan memanfaatkan “pekerja biologis” yang efisien dan tidak menghasilkan polusi tambahan. Dengan kata lain, penelitian ini bukan akhir, melainkan awal dari perjalanan panjang menuju pengelolaan limbah masker yang lebih aman, murah, dan berkelanjutan. Ini adalah bukti bahwa alam sebenarnya menyediakan solusi – kita hanya perlu belajar memahami dan mengembangkannya.

Maka, kalau makhluk sekecil itu saja mau bekerja tanpa pamrih, kita – yang punya akal, teknologi, dan kebijakan – tentu bisa berbuat lebih. Kita bisa memilih untuk mengurangi sampah, mendukung inovasi pengolahan limbah, dan ikut menjaga lingkungan dengan langkah-langkah sederhana tapi konsisten. Dibalik semua itu, ada harapan yang tumbuh pelan namun pasti. Harapan bahwa ilmu pengetahuan akan menemukan cara-cara baru untuk memperbaiki kerusakan yang pernah kita anggap tak mungkin diperbaiki. Harapan bahwa manusia dan alam bisa kembali bekerja berdampingan, bukan saling membebani.

Jika mikroalga dan bakteri kecil itu bisa memulai perubahan, maka kita pun bisa menyelesaikannya. Semoga suatu hari nanti, kita hidup di dunia yang lebih bersih, lebih bijak, dan lebih baik, karena kita memilih untuk peduli.