🧑‍💼 Identitas Penulis

Bayu Yoni Bayu Yoni Setyo Nugroho, S.KM., M.PH
Dosen Fakultas Kesehatan Universitas Dian Nuswantoro
Scopus ID: 57221753617
Sinta ID: 6744261
Kismi Mubarokah Kismi Mubarokah, S.KM., M.Kes (Editor)
Dosen Fakultas Kesehatan Universitas Dian Nuswantoro
Scopus ID: 57330903400
Sinta ID: 6144413

Setiap hari, ribuan nyawa bergantung pada ketepatan, kewaspadaan, dan kondisi fisik para pengemudi bus yang melintasi berbagai rute di Jawa Tengah. Namun di balik perjalanan yang tampak rutin itu, terkandung perbedaan mencolok dalam kondisi kesehatan para pengemudinya—perbedaan yang selama ini jarang tersorot publik. Sebuah penelitian terbaru terhadap 210 pengemudi bus mengungkap temuan menarik: kualitas tidur, tingkat kelelahan, dan pola kerja para pengemudi ternyata sangat bervariasi tergantung jenis rute yang mereka layani. Fakta ini bukan hanya membuka mata, tetapi juga menantang cara kita memandang keselamatan transportasi umum dan risiko kesehatan yang dialami para penjaga keselamatan di balik kemudi.

Tiga Rute, Tiga Cerita Berbeda
Penelitian yang dilakukan di Semarang dan Surakarta antara Januari 2023 hingga Agustus 2024 ini memperlihatkan betapa beragamnya kondisi kesehatan para pengemudi bus yang setiap hari kita temui di jalan. Tiga kelompok dibandingkan: pengemudi Trans Jateng, BRT (Bus Rapid Transit) Semarang, dan bus Antar Kota Dalam Provinsi (AKDP) rute Semarang – Surakarta. Hasilnya jauh dari seragam. Perbedaan mencolok tampak pada usia, pola tidur, tingkat kelelahan, hingga Indeks Massa Tubuh (IMT). Data yang terungkap bukan hanya angka, tetapi potret nyata tentang ritme kerja, beban fisik, dan tantangan keseharian para pengemudi.

Pengemudi Trans Jateng tampil sebagai kelompok dengan kondisi kesehatan paling stabil. Rata-rata usia mereka 43,1 tahun, dengan pola tidur yang terjaga di kisaran 7 jam per hari, durasi ideal untuk kualitas istirahat yang optimal. Tak heran, sebagian besar dari mereka (88,6%) berada pada kategori kelelahan rendah. Lebih dari itu, 74,3% memiliki berat badan ideal, menjadikan kelompok ini contoh bagaimana manajemen waktu kerja dan istirahat yang baik bisa berdampak positif pada kebugaran pengemudi.

Namun situasi yang sangat berbeda terlihat pada pengemudi BRT Semarang. Pada kelompok ini, penelitian menemukan paradoks yang mencolok: meski mereka tidur paling lama—rata-rata 9,5 jam per hari, justru 80% dari mereka mengalami tingkat kelelahan sangat tinggi. Fenomena ini memicu banyak pertanyaan tentang kualitas tidur, beban kerja, dan tekanan psikologis yang mungkin mereka alami. Kondisi ini diperburuk dengan temuan bahwa 84,3% dari pengemudi BRT berada pada kategori berat badan berlebih atau obesitas, yang secara langsung maupun tidak dapat mempengaruhi stamina serta tingkat kelelahan.

Sementara itu, pengemudi bus AKDP rute Semarang–Surakarta menghadirkan karakteristik yang tak kalah menarik. Mereka merupakan kelompok dengan usia rata-rata tertinggi, yakni 51,4 tahun, dan memiliki durasi tidur terpendek—hanya sekitar 5,4 jam per hari. Meski begitu, sebagian besar pengemudi AKDP (92,9%) “hanya” berada pada kategori kelelahan tingkat sedang. Angka ini mengundang interpretasi menarik: apakah mereka telah terbiasa dengan ritme kerja panjang, atau justru ada faktor-faktor lain seperti pengalaman kerja yang mempengaruhi persepsi kelelahan? Seperti halnya pengemudi BRT, 84,2% pengemudi AKDP juga berada pada kategori berat badan berlebih, menandakan bahwa masalah obesitas hampir menjadi pola umum pada sebagian besar pengemudi bus rute tertentu.

Mengapa Tidur Lama Justru Bikin Lelah?
Fenomena kelelahan pada pengemudi BRT yang tidur lebih lama membuka diskusi penting tentang bagaimana tubuh memaknai istirahat. Dalam dunia kesehatan tidur, para ahli menekankan bahwa durasi hanyalah satu bagian kecil dari puzzle besar yang disebut sleep architecture. Jika seseorang tidur lama tetapi siklus tidur dalam – seperti tidur gelombang lambat dan fase REM (Rapid Eye Movement) – tidak tercapai atau sering terganggu, tubuh tidak mendapat kesempatan memulihkan hormon stres, memperbaiki jaringan, atau mengembalikan fungsi otak pada kondisi optimal. Akibatnya, meski jam tidur tampak “cukup”, tubuh tetap terasa berat, lambat, dan mudah lelah.

Tidur yang terlalu panjang juga kerap dikaitkan dengan kondisi metabolik yang kurang baik, seperti obesitas dan gangguan pernapasan saat tidur, yang memperburuk rasa lelah keesokan harinya. Pada pekerja transportasi yang menghadapi tekanan waktu, paparan polusi, dan ritme kerja tidak tetap, tidur panjang bisa menjadi mekanisme kompensasi tubuh—bukan tanda istirahat yang efektif. Dengan kata lain, tidur lama bukan jaminan kualitas pemulihan; justru bisa menjadi sinyal bahwa tubuh sedang bekerja ekstra keras untuk mengimbangi stres dan beban pekerjaan yang tinggi.

Pada titik inilah pentingnya edukasi tentang manajemen kelelahan dan kebersihan tidur (sleep hygiene), terutama bagi pekerja transportasi publik. Intervensi sederhana seperti mengatur jadwal istirahat yang lebih stabil, mengurangi paparan cahaya biru sebelum tidur, hingga melakukan pemeriksaan kesehatan rutin dapat menjadi langkah penting untuk mencegah kelelahan kronis. Bagi pengemudi yang memikul tanggung jawab besar terhadap keselamatan publik, pemahaman bahwa “tidur lama belum tentu tidur berkualitas” adalah kunci menjaga daya tahan dan kinerja harian mereka.

Pengalaman Mengalahkan Usia?
Fakta menarik lainnya adalah kemampuan adaptasi pengemudi AKDP. Meskipun mereka paling tua dan tidur paling sedikit, mereka tidak mengalami kelelahan ekstrim seperti pengemudi BRT. Ini menunjukkan bahwa pengalaman bertahun-tahun telah membantu mereka mengembangkan mekanisme adaptasi dan strategi koping yang efektif terhadap kurang tidur. Perusahaan transportasi cenderung menempatkan pengemudi berpengalaman untuk rute jarak jauh. Rute Semarang – Surakarta sepanjang 110 km dengan waktu tempuh 2–3 jam membutuhkan konsentrasi berkelanjutan dan kemampuan mengambil keputusan yang matang – keterampilan yang diasah melalui pengalaman.

Namun, pengalaman bukan satu-satunya faktor yang membuat kelompok ini tetap tangguh. Banyak pengemudi AKDP mengaku telah membangun ritme kerja yang konsisten selama bertahun-tahun, termasuk kebiasaan micro-break, teknik mengatur napas saat mengemudi, hingga kemampuan membaca kondisi jalan secara intuitif. Adaptasi ini tidak tertulis dalam buku panduan resmi, tetapi tumbuh dari interaksi panjang mereka dengan jalanan dan penumpang. Di sisi lain, struktur perjalanan AKDP yang lebih panjang dan cenderung berirama stabil memberi ruang bagi tubuh untuk bekerja dalam pola yang dapat diprediksi. Tidak ada tekanan berhenti-mulai setiap beberapa ratus meter, tidak ada interaksi intens dengan lalu lintas kota yang padat, dan tidak ada tuntutan multitasking berlebihan seperti memantau halte, jadwal padat, serta arus naik–turun penumpang. Kombinasi antara pengalaman, ritme kerja yang lebih konsisten, dan beban kognitif yang lebih rendah inilah yang membuat kelompok pengemudi ini tampak lebih tahan banting meski usia mereka lebih tua.

Menariknya, beberapa pengemudi senior justru melaporkan bahwa usia membuat mereka lebih berhati-hati dan lebih mengenal batas fisik mereka. Alih-alih memaksakan diri, mereka lebih peka terhadap sinyal tubuh—kapan harus beristirahat, kapan butuh minum, atau kapan perlu menepi sejenak untuk merilekskan otot. Pola ini berkebalikan dengan pengemudi yang lebih muda yang terkadang cenderung mengejar target waktu atau dipengaruhi tekanan operasional.

Dalam konteks keselamatan transportasi, temuan ini menjadi pengingat penting: usia bukanlah indikator tunggal performa, dan pekerja yang lebih senior dapat memiliki ketahanan yang lebih baik jika pengalaman mereka diimbangi dengan manajemen ritme kerja yang tepat. Ini juga menyiratkan bahwa pelatihan bagi pengemudi muda perlu memasukkan aspek manajemen beban kerja dan teknik koping, bukan hanya keterampilan teknis mengemudi.

Obesitas: Masalah Bersama
Satu benang merah yang menghubungkan pengemudi BRT dan AKDP adalah tingginya angka obesitas dan kelebihan berat badan. Pekerjaan mengemudi yang membuat mereka duduk berjam-jam, dikombinasikan dengan pola makan tidak teratur dan minimnya aktivitas fisik, menciptakan kondisi sempurna untuk penumpukan berat badan.

Namun dibalik itu, ada realitas lapangan yang jarang disorot. Banyak pengemudi mengandalkan makanan cepat saji di terminal, warung pinggir jalan, atau camilan tinggi kalori untuk menjaga energi selama bekerja. Pilihan hidup sehat sering kali bukan sekadar soal disiplin, tetapi juga tentang akses: tidak ada waktu memasak, tidak ada fasilitas olahraga, dan tidak ada edukasi gizi yang terstruktur. Ketika tekanan kerja meningkat dan waktu istirahat terbatas, makan menjadi satu-satunya bentuk “self-reward” yang mudah.

Masalah ini semakin krusial karena obesitas bukan sekadar soal penampilan. Kondisi ini menambah beban besar pada tubuh pengemudi, mulai dari gangguan metabolik hingga masalah pernapasan. Risiko penyakit kardiovaskular, diabetes, hingga sleep apnea meningkat drastis – dan seluruh kondisi itu dapat mempengaruhi refleks, kewaspadaan, dan stamina saat berkendara. Pada profesi yang menuntut ketepatan detik demi detik, gangguan kecil saja bisa berbuntut fatal.

Lebih mengkhawatirkan lagi, data keselamatan transportasi menunjukkan bahwa faktor pengemudi menyumbang sekitar 65% kecelakaan transportasi umum di Indonesia. Artinya, kesehatan fisik bukan hanya urusan pribadi, tetapi juga berkaitan langsung dengan keselamatan ratusan penumpang setiap harinya. Karena itu, isu obesitas di kalangan pengemudi adalah sinyal penting bagi perusahaan transportasi dan pemerintah untuk mulai memikirkan intervensi kesehatan yang lebih sistematis – mulai dari penyediaan makanan sehat, edukasi gizi, hingga program kebugaran yang realistis bagi jadwal kerja mereka.

Menuju Sistem Pendukung yang Lebih Humanis
Temuan ini juga menyoroti pentingnya membangun sistem pendukung kesehatan kerja yang lebih humanis dalam industri transportasi publik. Banyak pengemudi masih bekerja dalam struktur yang menekankan ketepatan waktu dan efisiensi operasional, tetapi belum sepenuhnya menyediakan ruang pemulihan yang memadai. Fasilitas istirahat yang layak, jadwal kerja yang diatur lebih seimbang, serta pemeriksaan kesehatan berkala merupakan investasi penting yang sering kali diabaikan. Di negara-negara dengan standar keselamatan tinggi, perusahaan transportasi telah menerapkan kebijakan penjadwalan rotasi yang lebih fleksibel, menyediakan ruang tidur yang nyaman di terminal, hingga program konseling psikologis untuk membantu pengemudi mengelola tekanan kerja. Pendekatan seperti ini bisa menjadi inspirasi untuk meningkatkan keselamatan publik di Indonesia.

Selain kebijakan berbasis kesehatan, teknologi modern juga memiliki potensi besar untuk meminimalkan risiko kelelahan pengemudi. Sistem deteksi kantuk, sensor yang memantau pola berkendara, hingga aplikasi yang memberikan pengingat aktivitas fisik dapat menjadi alat bantu penting. Beberapa operator di kota besar dunia bahkan telah mengintegrasikan perangkat pengukur getaran mikro pada setir untuk mendeteksi tanda-tanda awal microsleep. Jika teknologi semacam ini diterapkan secara bertahap di Jawa Tengah, bukan hanya kesehatan pengemudi yang meningkat, tetapi juga kualitas layanan transportasi secara keseluruhan. Namun, penerapannya harus disertai dengan pelatihan yang memadai dan pendekatan yang tidak bersifat menghukum agar pengemudi merasa didukung, bukan diawasi secara berlebihan.

Kolaborasi: Kunci Perubahan
Peningkatan keselamatan jalan tidak dapat dibebankan pada pengemudi atau perusahaan transportasi saja. Pemerintah daerah, penyedia layanan, komunitas pengguna, hingga akademisi perlu bekerja bersama. Penelitian seperti ini membuka peluang kolaborasi untuk merancang program intervensi berbasis bukti—mulai dari penyuluhan kesehatan, penyediaan menu makanan sehat di terminal, hingga kampanye publik tentang pentingnya mendukung lingkungan berkendara yang aman. Ketika seluruh ekosistem bergerak bersama, perubahan yang terjadi tidak hanya bersifat jangka pendek tetapi juga berkelanjutan.

Pada akhirnya, upaya perbaikan kesehatan pengemudi adalah langkah penting menuju transportasi publik yang lebih berkelanjutan. Pengemudi merupakan ujung tombak yang memastikan jutaan perjalanan terjadi setiap tahun. Menjadikan mereka sehat, aman, dan dihargai adalah pondasi untuk menciptakan moda transportasi yang tidak hanya efisien, tetapi juga ramah manusia. Dengan melihat kesehatan pengemudi sebagai bagian integral dari kualitas layanan, kita membuka jalan bagi sistem transportasi yang lebih berdaya saing, lebih terpercaya, dan lebih mampu menjawab kebutuhan masyarakat modern.