Angela Merkel sebagai pemimpin tertinggi Jerman muncul di media televisi dan mengatakan bahwa Covid-19 adalah tantangan terbesar Jerman setelah perang dunia kedua. Pesan yang disampaikan oleh Merkel pada tanggal 18 Maret 2020 itu telah didahului dengan penutupan sekolah dan pelarangan untuk mengunjungi panti jompo (lansia sebagai kelompok rentan) pada tanggal 13 Maret 2020 di Jerman. Pada tanggal 22 Maret 2020, Jerman telah resmi untuk menerapkan lockdown.

Sumber: DW

Perang dunia kedua adalah momok menakutkan dalam sejarah warga Jerman. Penyampaian informasi kesehatan yang dihubungkan Merkel dengan pengalaman terkelam bangsanya merupakan bentuk penyampaian yang cerdas dari seorang Merkel. Pemilihan media televisi yang mudah diakses oleh warganya adalah bentuk kecerdasannya yang lain. Pesan yang jelas dan tegas dari Merkel akhirnya ditangkap, diamini dan disikapi oleh warganya dalam merespon Covid-19.

Hingga tanggal 22 April 2020, kematian akibat Covid-19 di Jerman memiliki nilai yang rendah dibandingkan dengan negara lainnya. Kematian akibat Covid-19 di Jerman berjumlah 3.1 per 100.000 penduduk.

Sementara itu, Belanda memiliki tingkat kematian 13.9 dan UK memiliki tingkat kematian 12.0 per 100.000 penduduk. Angka tersebut adalah hasil dari komitmen pemerintah dan masyarakatnya dalam merespon Covid-19. Penerapan Lockdown, test secara massal dan informasi yang jelas dari pemerintah adalah salah satu pelajaran yang bisa diambil dari upaya Jerman mengatasi pandemi global ini.

Health literacy bisa dikatakan benang merah antara Jerman, Belanda, dan UK. Health literacy merupakan kemampuan seseorang untuk memperoleh, memahami dan menggunakan informasi kesehatan dalam memutuskan tindakan terhadap isu kesehatan tersebut. Kemampuan Health literacy yang baik dari seseorang akan berdampak terhadap pemilihan keputusan dalam merespon Covid-19 ini. Pemerintah sebagai otoritas tertinggi memiliki kontribusi dalam pembentukan health literacy warganya.

Bagaimana dengan di Indonesia?

“Covid-19 bukanlah penyakit yang berbahaya”

“Covid-19 adalah penyakit flu biasa”

“Covid-19 menolak masuk, karena izinnya susah”

Begitulah pesan komunikasi sebagian pejabat kita kepada masyarakat di awal kasus Covid-19. Alih-alih memberikan kenyataan yang menyakitkan (ugly truth), otoritas tertinggi di Indonesia lebih memilih menutupi kebenaran (beautiful lie). Tak lama setelah pernyataan-pernyataan itu, pemerintah muncul kembali dengan mengumumkan peraturan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Beberapa aturan yang termasuk di dalam PSBB di antaranya: kewajiban penggunaan masker jika bepergian, pelarangan berkumpul, meliburkan sekolah, pembatasan transportasi umum dan beberapa aturan lainnya.

Beberapa dari kita dibuat berpikir: Kalau tidak berbahaya,
kenapa pemerintah menerapkan aturan yang
langsung menyentuh hidup masyarakat secara umum seperti PSBB?

Dampak dari pesan komunikasi ini ialah kebingungan masyarakat. Kebingungan juga melanda pada level nasional, di mana terdapat perbedaan pesan. Pesan-pesan tersebut akhirnya direkam oleh masyarakat sebelum akhirnya memutuskan tindakan apa yang akan diambil.

 

Bukan Hanya Indonesia

Tindakah seolah meremehkan itu ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia. Amerika Serikat, negara adidaya dengan segala cerita kehebatan dan kemajuannya, juga terkesan meremehkan. Otoritas tertingginya merasa tidak perlu cemas terhadap Covid-19, walaupun banyak ahlinya telah memperingatkan tentang bahaya Covid-19.

Hal inilah yang berdampak pada penolakan warga Amerika Serikat ketika penerapan lockdown mulai diterapkan di beberapa tempat. Respon pada penolakan masyarakat juga dilakukan otoritas tertinggi dengan cara membela diri, hingga menyerang balik penolakan. Sehingga, kebingungan masyarakat juga semakin bertambah.

Sumber: The Guardian

Penggunaan bahasa-bahasa yang rumit dan melangit menambah parah pola komunikasi antara pemerintah dengan warganya. Penggunaan eufemisme (bahasa yang diperhalus) dalam komunikasi kesehatan dapat mengurangi pemahaman masyarakat akan penyakit itu sendiri. Kita mulai dari istilah PSBB, Karantina Wilayah, Darurat Kesehatan Masyarakat, PDP, ODP, meratakan kurva dan seterusnya. Istilah-istilah itu terkesan asing dan jauh dari keseharian masyarakat.

Tanpa bermaksud merendahkan, namun bagaimana mungkin 24 juta orang miskin atau 60% mereka yang lulusan SMP/sederajat bisa paham dengan istilah-istilah tersebut? Pesan yang ditangkap hanyalah kebingungan, dan keputusan yang diambil adalah keputus-asaan.

Namun begitu, tulisan ini akan bergerak menuju optimisme. Kekuatan bersama akan mengalahkan Covid-19. Pemerintah dan masyarakat dapat bekerjasama dalam mengatasi permasalahan pandemi ini.

Sumber: Rangga Cahya Nugraha

Apa langkahnya?

Penguatan health literacy dan komitmen pemerintah adalah hal yang dapat  dilakukan. Health Literacy yang baik dari seseorang akan berdampak pada pengambilan keputusan yang tepat dalam merespon Covid-19 ini. Kesadaran masyarakat ditumbuhkan oleh kemampuan health literacy yang baik.

“saya akan menggunakan masker karena dapat mengurangi penyebaran Covid-19”

atau

“saya tidak akan mudik karena dapat menularkan penyakit pada orang yang saya sayangi”

dan

“saya akan tetap di rumah saja walaupun ada ajakan untuk ngopi di luar”.

Kesadaran tersebut tidak didapatkan dalam waktu satu malam. Upaya untuk meningkatkan health literacy dengan memberikan informasi pencegahan harus terus dilakukan. Penyampaian informasi kesehatan melalui media televisi masih efektif  untuk diterapkan.

Televisi merupakan media yang paling sering digunakan oleh masyarakat. Menurut data Nielsen, televisi memiliki rata-rata penggunaan selama 4 jam 59 menit per hari. Jauh lebih lama dibandingkan dengan internet yaitu 3 jam 20 menit per hari.

Merujuk data Nielsen tersebut, pemerintah kiranya dapat menggunakan media televisi untuk menyebarkan informasi kesehatan dalam menangani Covid-19 ini. Penggunaan bahasa yang mudah dipahami oleh masyarakat adalah hal yang mutlak untuk dilakukan.

Tidak hanya pemerintah pusat, pemerintah daerah melalui dinas kesehatan kota/kabupaten dan puskesmas diharapkan juga mampu bergerilya untuk meningkatkan health literacy masyarakat. Pemerintah daerah punya kekuatan untuk mengenali masyarakat yang ada di daerahnya. Komunikasi kesehatan dengan pendekatan budaya dan bahasa yang menyesuaikan dengan masing-masing daerah, merupakan langkah efektif dalam peningkatan health literacy masyarakat.

Pemerintah tidak sendirian dalam mengatasi permasalahan health literacy ini. Solidaritas masyarakat juga telah ikut ambil peran dalam menanggulangi permasalahan rendahnya health literacy masyarakat terhadap Covid-19. Jaringan Pegiat Literasi Digital  (Japelidi) telah membuat poster edukatif yang menggunakan 43 bahasa daerah untuk membumikan bahasa dan informasi seputar COVID-19 ini.

Health literacy dan komitmen pemerintah akan menentukan seberapa lama kita akan mengalami krisis akibat Covid-19 ini. Memberikan pesan singkat kepada yang terdekat untuk terus menggunakan masker jika bepergian dan mencuci tangan dengan sabun adalah hal kecil yang dapat kita lakukan. Kekuatan bersama akan mengalahkan Covid-19.

Hingga akhirnya, izinkan saya mengutip pernyataan dari Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Ardern, dalam mengatasi krisis di negaranya.

Jacinda Ardern

“stay home to save lives”